rss

WAKTU

Pelatihan PMIS & FMIS

Pelatihan PMIS & FMIS

Alumni Mambaul Ulum Banjarejo

http://www.facebook.com/platform

8.01.2010

makanlah sesuatu yang bermanfaat dan bergizi buannnyak

Baca selengkapnya »»»»

1.15.2010

planing masamuba

Kantor Rektorat


Ruang Kelas Bersama Yayasan






Baca selengkapnya »»»»

10.11.2009

Para Pemburu Ijazah

Sekalipun bersekolah itu pada hakekatnya adalah untuk mencari ilmu, tetapi pada kenyataannya ada saja orang bersekolah hanya untuk mendapatkan ijazah. Bahkan kemudian muncul semboyan, ijazah dulu, ilmu kemudian. Sementara orang menganggap ijazah sedemikian penting, melebihi posisi ilmu yang seharusnya diutamakan.


Gejala mementingkan ijazah, dan sebaliknya mengabaikan ilmu, rupanya sudah menjadi fenomena umum. Akibatnya sekolah hanya menjadi sesuatu yang harus dijalani atau diikuti. Semua diukur dengan waktu. Sekian jam guru harus mengajar, dan demikian pula sekian lama murid atau mahasiswa harus mengikuti pelajaran. Atau, sekian lama guru atau dosen harus memberi kuliah, dan sekian prosen pula murid atau mahasiswa harus mengikuti kegiatan guru itu.

Akibatnya, keberhasilan sekolah sebatas hanya dilihat dari berapa lama siswa atau mahasiswa mengikuti, bukan berapa banyak mendapatkannya. Bagi sementara murid yang dipentingkan adalah telah mengikuti, bukan berharap seberapa banyak harus mendapatkannya. Padahal mengikuti lain dengan mendapatkan. Bisa jadi orang mengikuti kegiatan belajar mengajar, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari kegiatannya itu. Itulah pendidikan yang kebanyakan sekarang ini berjalan.

Dalam pendidikan semestinya terjadi hubungan yang erat antara guru dan murid. Dalam hubungan pendidikan seharusnya ada suasana saling mengenal, tanggung jawab, motivasi, integritas terhadap ilmu, dan bahkan ada suasana hubungan kasih sayang antara guru dan murid. Hubungan ideal pendidikan seperti itu, ternyata semakin berubah, berganti menjadi hubungan yang bersifat transaksional, karena bersekolah hanya mengejar ijazah itu.

Lembaga pendidikan yang diwarnai oleh hubungan-hubungan transaksional, maka yang terjadi kemudian adalah kesepakatan-kesepakatan kosong yang saling menguntungkan tetapi bersifat semu. Pertemuan antara siswa dan guru atau mahasiswa dengan dosen didasarkan atas transaksi-transaksi yang telah disepakati, termasuk berapa harga yang harus dibayar. Seorang mahasiswa dibolehkan ujian jika telah mengikuti sekian kali kuliah dan juga melunasi SPP. Hubungan di sekolah, antara guru dan murid persis seperti hubungan penjual dan pembeli di pasar atau di mall.

Lembaga pendidikan formal kebanyakan sudah seperti itu. Apa saja dijalankan secara formal dan transaksional. Bersekolah hanya mengejar hasil yang bersifat formal, yaitu ijazah atau sertifikat. Lembaga pendidikan yang masih bertahan, yakni lebih berorientasi pada substansi atau esensi pendidikan, justru di kalangan pendidikan tradisional, misalnya pesantren salaf. Hubungan antara kyai dan santri bertahan, masih didasarkan atas suasana kasih sayang, tanggung jawab, integritas, dan bahkan juga nilai-nilai transcendental. Di kalangan pesantren dikembangkan beberapa konsep seperti : tawadhu’, tho’ at, ridho, barokah, khurmah, dan lain-lain.

Hal yang berlaku di lembaga pendidikan pesantren salaf, seorang santri harus thoát dan tawadhu’kepada kyai agar mendapatkan ridho, sehingga ilmu yang diperoleh membawa manfaat. Di sana ada istilah ilmu yang bermanfaat. Belajar di pesantren, para santri tidak saja berusaha mendapatkan sembarang ilmu, tetapi adalah ilmu yang memberi manfaat bagi hidupnya. Agar tujuan itu berhasil diraih, maka santri harus berusaha mendapatkan ridho dan berkah dari kyai. Sehingga terasa sekali, bahwa suasana transcendent selalu mewarnai bagi siapapun yang mencari dan atau memberikan ilmu pengetahuan di pesantren.

Hal yang perlu dipahami bahwa pendidikan di pesantren dimaksudkan adalah untuk membangun watak, kharakter, perilaku atau akhlak. Ilmu dianggap tidak akan memberi manfaat jika tidak mampu mengubah atau membentuk perilaku. Belajar di pesantren bukan berharap mendapatkan ijazah, melainkan dimaksudkan untuk mengejar ilmu, kecuali adalah pesantren yang telah membuka sekolah formal.

Bahkan ada sementara pesantren yang menganggap bahwa dengan mengikutkan para siswanya ujian persamaan, mendapatkan ijazah, dan sejenisnya, menjadikan para santri atau siswa hanya mengejar surat keterangan tanda lulus. Oleh karena itu ijazah atau surat keterangan, sekalipun sudah dinyatakan lulus, baru bisa diterima setelah para siswa melakukan kegiatan pengabdian selama waktu yang ditentukan. Kebijakan seperti ini dilakukan agar para siswa ketika belajar benar-benar termotivasi untuk mendapatkan ilmu, dan bukan sebatas mengejar ijazah.

Berbeda jauh dengan apa yang dilakukan oleh pesantren, adalah justru kebanyakan sekolah formal atau sekolah umum. Lembaga pendidikan formal, semua aspek dijalankan atas dasar standard tertentu. Namun ternyata tidak semua berhasil meraih kualitas yang diharapkan. Dengan orientasi seperti itu, justru pendidikan banyak dimanipulasi. Ijazah dan gelar didapat tetapi ilmunya belum dikuasai. Anehnya, pemegang ijazah seperti ini juga merasa puas. Padahal seharusnya sudah semakin disadari, bahwa lulusan seperti itu, ------sebatas meraih ijazah dan gelar, tidak akan bermanfaat baik bagi dirinya, apalagi untuk membangun bangsa ini. Wallahu a’lam.

Baca selengkapnya »»»»

10.03.2009

LOMBA JURNALISTIK

Mengapa Islam diseru dari mekkah, koq gak dari Indonesia atau dari Amerika, negara yang lain?




coba kirimkan artikel anda ke email yaspinmu@gmail.com
semoga artikel anda bermanfaat bagi orang lain, khususnya bagi siswa-siswi mambaul ulum banjarejo pagelaran malang.
bravo Masamuba perss.

Baca selengkapnya »»»»

10.02.2009

Nurdin M TOP Melarang Anaknya Pakai Jilbab

Nama Nurdin M Top jadi terkenal setelah beberapa kasus bom ia dituduh sebagai pelakunya.

Namun, Nurdin M TOP ini bukanlah seorang yang dituduhkan itu. Nama ini adalah kependekan dari Nurdin Memang Tua Ompong Peot (Nurdin M TOP). Usianya sekitar 65 tahun, giginya ompong dan pipinya peot.

Nurdin M TOP ini dikenal sebagai seorang kyai di kampungnya. Ia orang yang dikenal kokoh berpegang teguh pada ajaran agama, luwes bergaul, berhasil mendidik anaknya dan menjadi suri tauladan bagi orang-orang di kampung itu. Ia memiliki 4 orang anak, yang sulung sudah bekerja di Islamic Development Bank. Anak kedua baru saja di terima di BRI Syariah. Anak ketiga baru lulus SMA dan yang bungsu baru kelas 2 SMP.

Suatu hari, si bungsu datang kepada sang bapak, “Pak saya sudah akil baliq (remaja bukan anak-anak lagi-red) boleh ya saya pakai jilbab?” “Tidak boleh anakku”, jawab Nurdin M TOP. Sang anak sedih, heran, dan bergumam di dalam hati “mengapa ya saya tidak boleh pakai jilbab, orang tua saya khan orang soleh tetapi koq melarang saya pakai jilbab ya.”

Keesokan harinya sang anak datang lagi kepada sang bapak untuk meminta izin namun gagal lagi. Karena selama satu minggu berturut-turut si bungsu terus meminta akhirnya Nurdin M TOP marah dan emosi, dengan suara yang lantang dia membentak anaknya dan berteriak, “Bambang sudah saya bilang berulang kali, anak laki-laki itu tidak boleh pakai jilbab!”

Baca selengkapnya »»»»

Komunitas Masamuba

masamuba community

masamuba community
Hidup Sukses dan Hidup Mulia

MUTIARA RELIGI

Pengikut

Posting Anyar

 

buku tamu

ASMAUL HUSNA